Selasa, 09 Januari 2024

FIDUSIA

 

FIDUSIA



FIDUSIA 



pada tanggal 30 September 1999, Telah disahkan suatu undang - undang baru, yang mengatur tentang Hukum jaminan, yaitu UNDANG - UNDANG NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG FIDUSIA. Pada hari yang sama, peraturan tersebut telah diundangkan dalam Lembaran Negara Nomor 168, sehingga sesuai dengan ketentuan Pasal 41 undang - undang tersebut, Pada tanggal 30 September itu juga Undang - undang Fidusia Mulai berlaku.



Menurut Undang - undang Nomor 42 Tahun 1999  Pasal 1 ayat (1) menjelaskan tentang pengertian fidusia yang berbunyi sebagai berikut : 

" Fidusia adalah Pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda."



Dan yang dimaksud dengan Jaminan Fidusia berdasarkan Undang - undang No 42 Tahun 1999 Pasal 1 ayat (2) berbunyi :

" Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang - undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan Pemberian Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima Fidusia terhadap kreditor lainnya."



Prinsip Penyerahan Benda Bergerak

Hendaknya diingat, bahwa permasalahan mengenai fidusia antara lain di mungkinkan karena Pada asasnya menurut hukum yang berlaku, untuk penyerahan benda bergerak tidak dituntut syarat adanya penguasaan nyata atas benda yang dioperkan. Bahkan untuk penyerahan tagihan tidak disyaratkan adanya pemberitahuan kepada debitur (Pasal 613 KUHPerdata). Dalam Pasal 613 KUHPerdata hanya disebutkan, bahwa untuk penyerahan tagihan atas nama dan lain - lain benda tak bertubuh, kecuali tagihan tunjuk dan kepada order, harus dilakukan dengan akta otentik atau di bawah tangan, dengan mana hak - hak atas benda yang bersangkutan dialihkan.

Disamping itu, berdasarkan asas kebebasan berkontrak, yang disimpulkan dari ketentuan Pasal 1320 jo Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata dalam hukum kita juga diakui, bahwa pada asasnya orang bebas menciptakan titel, peristiwa perdata, untuk peralihan hak milik. Titel untuk peralihan hak atas benda, tidak terbatas pada apa yang secara tegas dan rinci diatur dalam KUHPerdata atau dalam Undang - undang di luarnya, tetapi berdasarkan asas kebebasan berkontrak, para pihak bebas untuk menyepakati perjanjian apa saja, yang menimbulkan kewajiban untuk penyerahan benda objek perjanjian yang bersangkutan, termasuk perjanjian penjaminan dengan penyerahanhak milik secara kepercayaan. 


Perlindungan Terhadap  Pemberi - Jaminan

Permasalahan tersebut di atas berkaitan dengan masalah perlindungan yang akan diberikan kepada debitur pemberi jaminan dan nantinya secara tidak langsung kepada kreditur lain dari debitur tersebut dan kesemuanya bergantung dari jawaban, apakah hak milik kreditur atas benda, yang diserahkan kepadanya oleh debitur pemberi jaminan merupakan hak milik yang penuh dan karenanya haknya adalah hak kebendaan ataukah ia merupakan hak milik, yang secara kebendaan adalah terbatas atau bahkan hanya sebagai hak pribadi saja.

sekalipun hak milik semula kita dibayangkan sebagai kewenangan mengambil tindakan pemilikan yang bersifat tetap, tetapi dalam  keputusan H.R. 25 Januari 1929, NJ. 1929,616, tersebut di atas, Hak milik ternyata juga bisa dioperkan (diserahkan kepada kreditur), dengan disertai kewajiban untuk mengembalikan. Jadi, tidak bersifat tetap atau malah bersifat bersyarat. Bukankah kalau hutang untuk mana diberikan jaminan dilunasi, maka hak milik atas benda jaminan kemabli kepada pemberian jaminan.

Konsekuensi - konsekuensinya

Kalau kita menerima, bahwa kreditur, yang menerima penyerahan hak milik, dengan penyerahan itu menjadi pemilik penuh atas benda jaminan, padahal seperti disebutkan di atas hak milik adalah hak untuk dalam batas - batas yang diberikan oleh undang - undang. dengan bebas menikmati dan mengambil tindakan pemilikan atasnya. maka kalau kita konsekuensi, kita juga harus mengakui, bahwa kewenangan kreditur di sini sebagai pemilik, yang berupa kebebasan untuk menikmati, dibatasi dan memang bisa dibatasi dengan suatu kewajiban obligator seperti misalnya atas dasar perjanjian pinjam - pakai, tetapi sekalipun demikian mestinya, diluar pembatasan itu, pada dasarnya kreditur tetap mempunyai kewenangan pemilikan penuh atas benda miliknya. Dengan demikian, perlindungan kepada debitur sebagai pemberian jaminan, dan juga pemilik asal hanya diberikan dalam bentuk perikatan antara dirinya dengan kreditur, sehingga Hak Debitur /Pemberian jaminan hanya bersifat hak tuntut pribadi saja. Debitur / pemilik asal setelah penyerahan tidak lagi mempunyai hak kebendaan atas benda yang semula adalah miliknya. Ia antara lain tidak lagi mempunyai hak revindikasi atas benda tersebut. Persoalan ini dengan sendirinya muncul, karena sebagaimana disebutkan di atas, H.R dalam arrestnya mengakui, bahwa perjanjian penyerahan hak milik itu dimaksudkan untuk menjamin hutang debitur. permasalahannya adalah kalau kita tidak mengakui kewenangan beschikking kreditur sebagai pemilik baru, maka kita sebenarnya hanya memberikan merek pemilik, tetapi isinya adalah hak gadai saja.  

Kekhawatiran atas bentuk penyelesaian model seperti itu sudah tampak dalam pendapat van Nierop, yang  mengatakan, bahwa Penjualan benda jaminan oleh kreditur yang katanya sudah menjadi milik kreditur berdasarkan penyerahan hak milik Hanya bisa dilakukan dengan cara seperti yang disebutkan dalam Pasal 1201 B.W  (pasal 1155 KUHPerdata), yang merupakan ketentuan cara penjualan benda gadai. Dengan itu berarti ada pembatasan atas hak kebendaan kreditur sebegai pemilik dengan perkatan lain pada pembatasan atas hak kewenangan pemilikan penuh dan seorang pemilik. Kalau kreditur tidak bisa / boleh mengoperkan benda miliknya, maka disini ada keadaan di mana kreditur secara kebendaan seharusnya boleh dan dapat menjual, bukan kah ia pemilik ?,tetapi secara obligatoir tidak bisa.

Dikatakan Obligator tidak bisa karena perjanjian penyerahaan hak milik dalam arrest tersebut di atas, diakui hanya sebagai suatu bentuk penjaminan saja. Jadi, berdasarkan perjanjian atau dengan perkataan lain, secara obligatoir kedudukannya sebagai pemilik, harus menyesuaikan dengan pembatasan berdasarkan perjanjian atau dengan perkataan lain, secara obligatoir kedudukannya sebagai pemilik, harus menyesuaikan dengan pembatasan berdasarkan perjanjian yang mereka tutup, yang ternyata tujuan adalah untuk memberikan jaminan.

Dengan demikian, selama debitur belum/tidak wanprestasi, maka kedudukan kreditur yang telah menerima penyerahan hak milik atas benda jaminan ternyata adalah sebagai pemegang jaminan saja, dan kewenangannya sebagai pemilik antara lain, untuk menuntut penyerahan benda jaminan dan untuk menjual baru muncul, setelah debitur wanprestasi, itu pun dengan pembatasan - pembatasan tertentu (sesuai dengan ketentuan tentang eksekusi dan pasal 1155 KUHPerdata).

Seterusnya, kalau kita konsekuensi dengan kedudukan kreditur sebagai pemilik dari benda yang diserahkan kepadanya, yang sementara itu ada dalam tangan debitur dalam kualitasnya sebagai peminjam - pakai maka kreditur sebagai pemilik mempunyai hak untuk menuntut pengembalian benda yang ia pinjam - pakaikan kepada peminjam, dan hak itu untuk menuntut penyerahan kembali. 

Selama hutang dapat diselesaikan dengan baik, selama debitur tidak wansprestasi, kemungkinan keruwetan memang bisa diharapkan tipis, karena kewenangan kreditur dibatasi secara kontratual, tetapi kalau debitur wanprestasi dan disamping itu kalau debitur atau kreditur jatuh pailit, maka sudah diduga, bahwa akan muncul permasalahan permasalahan yang terbawa dengan konstruksi tersebut di atas.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar