Minggu, 07 Januari 2024

Kode etik fintech lindungi nasabah dari pinjaman ilegal

 

Kode etik fintech lindungi nasabah dari pinjaman ilegal

Foto ilustrasi teknologi keuangan (fintech).
Kode etik untuk menjalankan praktik bisnis financial technology (fintech) yang berbasis pada pinjam-meminjam uang akhirnya diluncurkan, Kamis (23/8/2018).

Kesepakatan itu sebenarnya telah ditandatangani lebih dari 50 pelaku usaha yang tergabung dalam Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech), sejak awal Agustus 2018. Namun, pedoman perilaku layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi yang bertanggung jawab (LPMUBTI)-nya baru menyusul diluncurkan.

Wakil Ketua Umum Jasa Keuangan Aftech Adrian Gunadi mengatakan keberadaan kode etik itu adalah untuk menegaskan komitmen pelaku usaha, dalam hal ini perusahaan fintech, dengan turut memberikan perlindungan bagi nasabah.

Ada tiga acuan yang menjadi prinsip dalam pedoman itu. Pertama, transparansi produk dan metode penawaran. Dalam hal ini penyelenggara wajib mencantumkan seluruh biaya yang timbul dari utang, termasuk biaya yang timbul di muka, bunga, biaya keterlambatan, dan lainnya.

Pelaku usaha juga diwajibkan untuk mencantumkan alamat kantor, alamat surat elektronik, dan nomor telepon untuk pengaduan nasabah.

Tujuannya adalah untuk memberdayakan konsumen ketika menerima pinjaman serta meminimalisasi risiko penipuan dan praktik tidak etis.

Kedua, pembatasan nominal pinjaman. Pelaku usaha wajib meningkatkan kemampuan dan ketahanan ekonomi konsumen, bukan malah menjerumuskan ke jeratan utang.

Sebelum mencairkan pinjaman, pelaku usaha wajib melakukan riset dan verifikasi kepada konsumen untuk memastikan apakah yang bersangkutan mampu membayar utang atas pinjaman tersebut.

Terkait pemberian pinjaman ini, pelaku usaha juga dilarang memanipulasi data konsumen demi memudahkan proses pinjam meminjam.

Ketiga, pelaku usaha wajib menjalankan prinsip itikad baik terkait praktik penawaran. Begitu juga ketika melakukan penagihan. Pelaku usaha wajib menagih utang tanpa menggunakan kekerasan fisik maupun nonfisik, termasuk cyber-bullying.

“Penyelenggara juga dilarang menggunakan pihak ketiga pelaksana penagihan yang memiliki reputasi buruk berdasarkan informasi dari otoritas maupun asosiasi,” sambung Adrian dalam Republika.

Demi mengawasi jalannya kode etik tersebut, Aftech juga membentuk Komite Etik yang akan dipimpin oleh tiga advokat berpengalaman.

Direktur Kebijakan Publik Aftech Aji Satria Sulaeman mengatakan, selain membentuk komite etik, asosiasi juga akan membentuk tim kerja yang khusus menyiapkan standar operasional prosedur (SOP) pemberian utang bagi penyelenggara fintech lending.

Aftech mencatat, ada sekitar delapan fintech yang berinisiatif membagi data peminjam bermasalah kepada anggota yang lain. “Dari data ini jangan sampailending lain juga mengalami masalah fraud karena mereka tidak bayar,” jelas Aji dalam KONTAN.

Berdasarkan data peminjam tersebut, ternyata risiko kredit macet mencapai sekitar 50 persen dari peminjam yang gagal melunasi kredit.

Kemunculan kode etik fintech ini salah satunya berawal dari kasus penagihan utang nasabah yang dilakukan pihak ketiga RupiahPlus. Para nasabah RupiahPlus merasa dirugikan dengan cara penagihan yang "kasar" dan adanya kebocoran data kepada pihak ketiga untuk tujuan tersebut.

RupiahPlus menyesalkan kejadian ini dan melayangkan permintaan maafnya kepada para nasabah. Pihaknya juga menolak bahwa cara-cara penagihan ini adalah bagian dari SOP perusahaannya.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memutuskan untuk menghentikan sementara proses pengajuan izin operasional RupiahPlus sebagai serambi peer-to-peer (P2P) lending sebagai bentuk sanksi dari insiden ini.

Penundaan akan berlangsung selama tiga bulan. Selama periode itu pula, RupiahPlus harus memperbaiki standar operasional penagihan berikut implementasinya. Jika tidak ada perbaikan, maka proses penundaan bisa diperpanjang.

Dalam perkembangannya, Satgas Waspada Investasi mengungkap sebanyak 227 fintech yang tak terdaftar alias ilegal. Para perusahaan ini menawarkan layanan P2P lending dari 155 pengembang tidak terdaftar. Dari jumlah itu, paling banyak berasal dari Tiongkok.

Satgas Waspada Investasi telah memanggil mereka, agar menghentikan kegiatan pinjam meminjam, menghapus semua aplikasi penawaran pinjam meminjam uang, menyelesaikan segala kewajiban kepada pengguna, dan segera mengajukan pendaftaran ke OJK.

Sebagai catatan, berdasarkan Peraturan OJK nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi, penyelenggara fintech peer to peer lending (P2P) wajib mengajukan pendaftaran dan perizinan kepada OJK untuk mendapatkan izin operasional keuangan.



Sumber : https://beritagar.id/artikel/berita/...injaman-ilegal




Tidak ada komentar:

Posting Komentar