Minggu, 07 Januari 2024

Penagih utang pinjaman online wajib tersertifikasi

 

Penagih utang pinjaman online wajib tersertifikasi

Pengunjung melintas di salah satu sudut acara Fintech Festival yang digelar di Singapura 2017.
Maraknya kasus penagihan utang oleh perusahaan pinjaman online secara represif kerap meresahkan masyarakat. Untuk menekan kasus penagihan yang kasar dan menggunakan ancaman, Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) akan menerapkan sertifikasi perusahaan anggota dan penagih.

Hal ini dilakukan agar tak ada lagi laporan penagihan yang meresahkan. Wakil ketua umum AFPI, Sunu Widyatmoko menjelaskan AFPI membentuk komite etik yang akan mengawasi pelaksanaan operasional atau code of conduct fintech peer to peer lending (pendanaan online).

AFPI juga akan memitigasi peredaran pinjaman online ilegal dengan menerapkan sertifikat lembaga penagihan.

Saat ini, jumlah tenaga penagih fintech peer to peer lending sudah mencapai ribuan dan tersebar di banyak wilayah di Indonesia. Sunu pun mengatakan, sertifikasi ini nantinya tidak hanya ditujukan kepada tenaga penagih yang berasal dari dalam perusahaan, tapi juga dari pihak ketiga atau outsource.

Tak hanya itu, asosiasi juga akan melakukan pembekalan kepada seluruh pemangku kepentingan pelaku bisnis pinjaman online, mulai dari jajaran direksi, komisaris, pemegang saham, serta pihak lain yang terlibat.

"Di Februari ini kami ada sertifikasi penagihan pertama, dan sertifikasi ini nantinya enggak hanya ke penagihan, tetapi juga ke stakeholder terkait conduct of doing business. Intinya kami ingin membuat industri ini sehat," ujar Sunu dikutip dari Kompas.com (4/2/2019).

Menurut dia, keberadaan komite etik dan langkah-langkah perlindungan ini sekaligus menegaskan komitmen pelaku usaha dalam menerapkan standar praktik bisnis yang bertanggung jawab, untuk melindungi nasabah maupun penyelenggara.

"Munculnya peraturan tersebut menjadi bukti bahwa para pelaku usaha fintech peer to peer lending ingin membangun industri fintech dalam negeri lebih baik ke depannya," ujar dia.

Hal tersebut, menurut Sunu, akan melindungi konsumen seperti larangan mengakses kontak dan penetapan biaya pinjaman maksimal. Misalnya kode etik tersebut, AFPI menetapkan total biaya pinjaman tidak boleh lebih dari 0,8 persen per hari dengan penagihan maksimal 90 hari.

Wakil Ketua Harian AFPI, Tembur Pardede, menilai kehadiran fintech lending ilegal sangat merugikan industri. Kehadiran fintech ilegal sudah sangat meresahkan karena bisa merusak citra fintech legal dan yang sudah terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Apalagi, sudah terungkap kasus fintech P2P lending yang melakukan pengancaman dan tindakan asusila.

AFPI selama ini juga telah membahas dan berkomunikasi dengan OJK terkait penanganan hal ini.

Dia mengatakan, fintech yang tergabung dan menjadi anggota AFPI telah menyepakati aturan bersama dan tidak boleh melanggarnya. Salah satunya adalah tidak mengakses nomor kontak ponsel atau gambar dari ponsel mitranya.

"Kami dari asosisi sudah melakukan perbaikan-perbaikan sejak tahun lalu, yaitu kita memiliki satu kode etik, khususnya perlindungan konsumen. Kami di asosiasi juga memerintahkan kepada seluruh anggota kami dan saat ini ada 88 fintech," tuturnya.

Pengacara publik Lembaga Bantuan Hukum (LBH), Nelson Nikodemus Simamora, mengatakan telah menerima sekitar 3.000 aduan terkait pelanggaran yang dilakukan oleh aplikasi fintech pinjam-meminjam.

Di antara pelanggaran tersebut adalah, penagihan utang dengan mengintimidasi, membocorkan data pribadi pelanggan, hingga pelecehan seksual.

Meningkatnya jumlah laporan aduan di pihak LBH dari 1.300 menjadi sekitar 3.000 aduan, menurut Nelson, menunjukkan bahwa belum adanya kejelasan mengenai aturan fintech lending yang ada di Indonesia.

Bahkan, ada aplikasi fintech lending terlapor yang telah diblokir dari Google Playstore dapat kembali beroperasi dengan nama dan logo yang sedikit berubah.

Kendati telah mengantongi banyak aduan, LBH Jakarta menyatakan tidak bakal menyerahkan data pengaduan konsumen itu kepada Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia. Nelson mengatakan hanya akan menyerahkan data tersebut kepada OJK.

Sementara AFPI menyatakan tak bisa menyelesaikan kasus pengaduan yang masuk melalui LBH jika data pengaduan itu tidak masuk ke asosiasi. Ketua Harian AFPI, Kuseryansyah, menyatakan LBH seharusnya berlaku adil di dalam setiap tindakannya dan tidak boleh berat sebelah.

"Begitu juga terkait laporan dari pelanggan yang masuk ke LBH terkait fintech pendanaan online, sebaiknya LBH kooperatif kepada pihak yang dilaporkan dan berorientasi kepada penyelesaian masalah," kata Kuseryansyah dalam Tempo.co.



Sumber : https://beritagar.id/artikel/berita/...tersertifikasi




Tidak ada komentar:

Posting Komentar