Minggu, 07 Januari 2024

Perbedaan Arbitrase dan Pengadilan

 

Ribut-ribut Freeport, Ini Perbedaan Arbitrase dan Pengadilan
JAKARTA, KOMPAS.com — Kemelut kasus kontrak karya PT Freeport Indonesia membuat perusahaan induknya, Freeport McMoran Inc, dan Pemerintah Indonesia sama-sama ingin menempuh jalur arbitrase.

(Baca: Saat Pemerintah dan Freeport Saling Ancam Terkait Arbitrase)

Apakah yang dimaksud dengan arbitrase tersebut? Mengapa banyak pihak menyarankan pemerintah dan Freeport sebaiknya mempertajam negosiasi ketimbang memilih jalan arbitrase?

(Baca: Kasus Freeport, Apakah Arbitrase Jalan Terbaik?)

Sartono, partner di kantor hukum Hanafiah Ponggawa & Partners (HPRP), memiliki penjelasan sederhana, perbedaan antara arbitrase dan pengadilan.

Arbitrase, kata Sartono, merupakan alternatif forum penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang dapat dipilih oleh para pihak yang timbul berdasarkan perjanjian.

Secara umum, proses persidangan melalui arbitrase tidak terlalu berbeda dengan pengadilan. Dalam hal ini, pihak yang merasa dirugikan dan membawa permasalahan tersebut ke arbitrase diberikan kesempatan untuk mengajukan klaim, sementara lawannya diberikan kesempatan untuk menanggapi dalam bentuk jawab-menjawab.

(Baca: Ini Syarat Kasus Freeport Bisa Diajukan ke Forum Arbitrase)

Selanjutnya, para pihak yang berperkara juga diberi kesempatan untuk mengajukan bukti-bukti surat, saksi-saksi, dan ahli untuk membuktikan dalil-dalil atau argumen mereka.

Namun, terdapat beberapa perbedaan mendasar antara arbitrase dan pengadilan, antara lain:

1. Pengajuan perkara ke arbitrase hanya dapat diajukan oleh para pihak yang terikat dengan perjanjian arbitrase.

Dalam hal ini, pihak-pihak sepakat untuk menyelesaikan sengketa tersebut melalui arbitrase, sedangkan pengajuan perkara ke pengadilan bisa diajukan oleh siapa saja terhadap pihak mana pun;

2. Proses persidangan di arbitrase bersifat tertutup dan rahasia, sedangkan persidangan di pengadilan bersifat terbuka untuk umum.

Bagi pelaku usaha, sifat tertutup dari arbitrase ini kadang diperlukan untuk menjaga nama baiknya.

3. Proses beracara di pengadilan sangat formal dan kaku sesuai dengan hukum acara perdata.

Adapun proses beracara di arbitrase tidak terlalu formal, tidak terlalu kaku dan fleksibel, serta dapat ditentukan oleh arbiter sesuai dengan sengketa yang dihadapi;

4. Dalam arbitrase, sengketa akan diperiksa oleh arbiter tunggal atau majelis arbiter.

Apabila majelis arbiter dibentuk dengan komposisi tiga orang arbiter, umumnya tiap-tiap pihak akan menominasikan satu orang arbiter untuk menjadi anggota majelis arbiter.

Selanjutnya, dua anggota arbiter akan memilih arbiter ketiga sebagai ketua majelis arbiter.

Arbiter dapat dipilih oleh para pihak yang bersengketa. Umumnya, arbiter tersebut tidak semata-mata ahli hukum, tetapi juga memiliki keahlian di bidang yang disengketakan.

Dengan demikian, arbiter tersebut mengetahui permasalahan yang menjadi sengketa secara menyeluruh, termasuk hal-hal teknis di bidang yang disengketakan.

Adapun dalam proses beracara di pengadilan, majelis hakim dipilih oleh ketua pengadilan dan merupakan hakim yang menguasai bidang hukum secara umum (general).

5. Putusan arbitrase bersifat final dan mengikat, upaya hukum apa pun tidak dapat diajukan, sedangkan putusan pengadilan bisa banding, kasasi, bahkan peninjauan kembali.

"Oleh karenanya, persidangan di arbitrase relatif lebih cepat dan efisien dibandingkan dengan persidangan di pengadilan," pungkas Sartono.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar